Agen SPAK Polwan DIY AKBP Irene di depan elektronik Survey Kepuasan Masyarakat
Kisah Inspiratif

Integrasi Nilai Integritas dalam Diri dan Profesi, Agen SPAK Polwan AKBP Irene jadi Nominasi Polisi Berintegritas Hoegeng Awards

Menghadirkan perubahan mulai dari diri sendiri yang terintegrasi dalam rutinitas sehari-hari terdengar seperti sebuah hal kecil. Namun bagi Kepala Bagian Reformasi Birokrasi POLRI di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta AKBP Irene Ayu Anggraini, perubahan perilaku tersebut mampu memberikan dampak yang luar biasa.  Selama karirnya bergabung dalam jajaran kepolisian, AKBP Irene berkesempatan mengikuti pelatihan nilai-nilai antikorupsi yang diselenggarakan oleh SPAK dan AIPJ2 di Yogyakarta pada tahun 2016 dan 2017 bersama rekan-rekan polisi Wanita (polwan) lainnya.  Melalui pemaparan narasumber dan agenda perkenalan alat permainan SPAK, “mindset dan cultureset digiring untuk membangun integritas,” ungkap AKBP Irene. Hal ini menyulut semangat AKBP Irene dan peserta lainnya untuk bergerak bersama menghadirkan perubahan dengan melakukan sosialisasi kepada rekan-rekan kerja maupun masyarakat. Terutama dengan permainan SPAK seperti ARISAN, banyak momen di mana peserta tersentil bahwa hal-hal yang biasa ternyata belum tentu benar, seperti gratifikasi, dan kebiasaan menyontek. Walaupun seiring berjalannya waktu aktivitas penyuluhan tidak lagi rutin dilakukan, namun AKBP Irene melihat bahwa nilai-nilai yang didapatkan melalui pelatihan SPAK dapat dihadirkan melalui pembangunan zona integritas dalam ruang lingkup tugasnya di Bagian Reformasi Birokrasi POLRI.  Bagian Reformasi Birokrasi Polda DIY fokus pada upaya-upaya perubahan dalam institusi, salah satunya melalui pembangunan zona integritas. AKBP Irene, sesuai tupoksi, membuat inovasi yakni elektronik survei kepuasan masyarakat yang bekerja secara real time pada unit-unit pelayan SIM dan SKCK di jajaran Polda DIY. AKBP Irene menjelaskan, “setelah mendapatkan pelayanan, masyarakat kami harapkan mengisi survei secara online terkait dengan SDM, perangkat, waktu, biaya, total ada 9 alat ukur.” Masyarakat dapat memberikan evaluasi dan masukan kepada institusi apakah ada bagian yang kurang pas maupun dapat dikembangkan. Setelah pesan dikirim, pimpinan di pusat dapat langsung mengevaluasi proses pelayanan di mana yang kurang baik, apa yang kurang berkenan di masyarakat. Tantangan infrastruktur, terutama jaringan internet, membutuhkan pembenahan pada jaringan internet untuk terus diperbaiki. Inovasi AKBP Irene bahkan dalam meningkatkan integritas pelayanan POLRI mendapat apresiasi langsung dari pihak AIPJ2 dalam kunjungannya ke Polda DIY kala itu.  Sejak 2020, Mabes POLRI sudah mempersiapkan produk aplikasi survei yang diseragamkan dan terintegrasi menjadi satu dan dapat digunakan di seluruh Indonesia. POLRI yang kini dipimpin oleh Sigit Listyanto memperhatikan secara khusus pembangunan zona integritas di unit-unit kepolisian di seluruh Indonesia. “Menurut penilaian pimpinan di pusat di Mabes POLRI, pembangunan zona integritas di Polda DIY termasuk salah satu yang terbaik,” sambung AKBP Irene. Perilaku jujur dan integrasi nilai-nilai antikorupsi dalam rutinitas personal dan profesional AKBP Irene tidak hanya menghadirkan dampak dalam lingkungan sekitarnya, namun membawa kabar baik baginya. Kabar bahwa AKBP Irene menjadi salah satu nominasi Hoegeng Award dalam kategori “Polisi Berintegritas” merupakan sebuah kejutan baginya. Ia ingat bahwa pembukaan rangkaian kegiatan dibuka kepada publik di mana masyarakat dapat menominasikan polisi di daerahnya yang berintegritas dengan menyertakan alasan-alasan. Seleksi dilakukan secara independen oleh tim penyelenggara yakni detikcom, ombudsman, tokoh masyarakat. Dari sekian ribu polisi yang diusulkan, Irene menjadi salah satu nominasi untuk kategori Polisi Berintegritas. “Melaksanakan jobdesc sebagai tanggung jawab dan ibadah saya. Yang penting saya tetap berusaha melakukan titipan Tuhan ini sebaik-baiknya, walau justru terus terang rasanya masih jauh dari sempurna, masih perlu kerja keras lagi terutama dengan dinamika masyarakat yang terus berkembang.”
Kisah Inspiratif

Aipda Andi Sri Ulva – Agen SPAK Polwan Panakkukang

Pelataran sebuah hotel di kota Sorong rasanya begitu sempit untuk memuaskan keinginan saya berlari dan terus berlari menghilangkan berbagai bayangan apa yang sudah saya kerjakan bertahun-tahun hingga hari ini. Malam itu seharusnya saya tidur nyenyak di kamar hotel, menikmati empuknya kasur sambil menonton televisi. Tapi nyatanya saya tidak bisa sesantai itu, saya merasa terhimpit rasa bersalah. “Saya bukan polisi yang mengayomi masyarakat, saya polisi yang minta uang dari rakyat. Padahal mereka mungkin lebih susah hidupnya dari saya.” Saya sudah 5 kali  berlari mengelilingi pelataran hotel, untuk membuang jauh rasa bersalah itu. Penuh peluh, saya menelpon ibu saya di Makassar. “Bu, tolong kumpulkan motor, mobil dan beberapa perhiasan. Tolong semua dijual dan nanti uangnya untuk disumbangkan ke rumah yatim,” kata saya yang disambut dengan berondongan pertanyaan dari ibu. “Sudah bu, nanti saya jelaskan..jual semua ya besok.” Saya harus menjadi Ulva yang baru, polisi yang jujur, polisi yang benar-benar mengayomi masyarakat. Kalau ada yang harus berubah, itu adalah diri saya sendiri Saya, polisi wanita berpangkat …….. yang bertugas di Polsek Panakkukang, Makassar. Saya diperintahkan untuk mengikuti pelatihan “Saya, Perempuan Anti Korupsi” di Sorong, Papua Barat. Awalnya, saya merasa ini akan menjadi pelatihan yang biasa saja. Hari pertama, saya mulai berkenalan dengan peserta yang lain, dari berbagai latar belakang. Ada guru, aktivis LSM, pegawai negeri, dosen dan wartawan. Hari kedua, pemberian materi tentang apa itu korupsi dan apakah kita selama ini hanya menjadi korban atau sekaligus pelaku korupsi. Materi itu begitu membuat saya terpojok. Bayangkan saja, beberapa hal yang masuk dalam kategori korupsi sudah pernah saya lakukan! Saya menerima “amplop” dari masyarakat yang mendapat pelayanan dari unit kerja saya. Tidak saja menerima, tapi saya berbagi uang haram itu dengan kolega saya yang lain.  “Polisi macam apa saya ini?” saya bertanya pada diri saya sendiri. Bayangan almarhum ayah saya berkelebat, “Ulva, kalau memang mau jadi polisi, jadilah polisi yang baik, yang benar-benar membela masyarakat.”  Ingatan saya kembali ke beberapa waktu silam, saat saya ngotot ingin menjadi polisi sementara ayah saya melarang. Ayah waktu itu beralasan, polisi itu banyak sekali peluangnya untuk korupsi. Semua kenangan akan ayah saya, perjalanan karir saya sebagai polisi dan bagaimana anak saya menjalani kehidupannya sekarang, terus berputar di kepala saya. “Saya harus menjadi Ulva yang baru, polisi yang jujur, polisi yang benar-benar mengayomi masyarakat. Kalau ada yang harus berubah, itu adalah diri saya sendiri,” begitu kesimpulan saya malam itu. Malam itu, saya mengambil air wudhu dan merasa sholat yang saya lakukan adalah sholat terkhusyu untuk memohon ampun atas dosa-dosa saya. Kembali ke Makassar, yang saya lakukan adalah memastikan uang hasil  penjualan barang-barang sudah disumbangkan ke rumah Yatim Piatu dan kemudian menghadap atasan saya saat itu, Wahyudi Rahman. Saya menceritakan kembali apa yang saya dapat dari pelatihan tiga hari itu dan saya mohon izin kepada atasan saya untuk berbagi mengenai ilmu baru ini kepada teman-teman di Polsek Panakkukang. Saya ajak teman-teman saya main games yang memang dibagikan kepada peserta ToT. Kemudian meja layanan kami buat tanpa laci. Ini memperkuat ide bahwa kami tidak lagi dibayar untuk memberi layanan pada masyarakat. Beragam reaksi muncul, tetapi secara umum saya mengamati mereka senang dengan cara bermain ini. Mereka yang sebelumnya tidak mengetahui bahwa memberikan bingkisan kepada guru di sekolah adalah bibit perilaku koruptif, sekarang mulai paham dan mencari cara agar tidak melakukannya lagi. Saya mengajak polwan lain di kantor saya untuk mulai berubah, awalnya dengan memasang brosur-brosur dan logo SPAK di meja kerja kami. Rupanya ini menarik masyarakat yang datang ke kantor kami. “Semua layanan GRATIS dan tidak dipungut biaya” tulisan itu kini terpampang di Polsek Panakkukang. Dukungan atasan dan rekan-rekan saya memperkuat keinginan untuk menjadikan kantor kami sebagai pelopor polisi Sombere (Polisi ramah, dalam bahasa Makassar). Kemudian muncul ide untuk merombak ruang layanan masyarakat menjadi transparan. Kami mulai dengan desain ruangan yang menjadi satu dan tanpa sekat. Kemudian meja layanan kami buat tanpa laci. Ini memperkuat ide bahwa kami tidak lagi dibayar untuk memberi layanan pada masyarakat. Meja berlaci dulu diasosiasikan dengan tempat menyimpan uang pungutan liar. Tak cukup dengan itu, diwaktu tertentu seperti selesai apel, kami bermain dengan games SPAK dan mengenalkan kepada teman yang lain. Saya ingin anak saya kelak menikmati Indonesia yang benar-benar bebas dari korupsi. Saya sendiri bertekad, karena saya sekarang sudah menjadi agen SPAK dan sudah mengetahui tentang korupsi dan bahanyanya, saya akan menjadi orang yang jujur dan profesional menjalankan tugas saya. Saya ingin anak saya kelak menikmati Indonesia yang benar-benar bebas dari korupsi. Tentu ini bukan tanpa tantangan, saya pernah dicap sok suci, merasa sudah kaya dan tidak perlu uang lagi sehingga tidak mau menerima pungli. Tetapi sekali lagi, karena saya sudah berniat untuk berubah, semua saya hadapi dengan tenang. Saya tau rejeki paling banyak diberikan Allah SWT, saya berubah juga karena jalanNya. Kalau tidak, tentu saya tidak dibukakan mata saat ini, disaat institusi polisi juga tengah berbenah untuk memantapkan profesionalitas seluruh anggotanya.