Pelataran sebuah hotel di kota Sorong rasanya begitu sempit
untuk memuaskan keinginan saya berlari dan terus berlari menghilangkan berbagai
bayangan apa yang sudah saya kerjakan bertahun-tahun hingga hari ini. Malam itu
seharusnya saya tidur nyenyak di kamar hotel, menikmati empuknya kasur sambil
menonton televisi. Tapi nyatanya saya tidak bisa sesantai itu, saya merasa
terhimpit rasa bersalah. “Saya bukan polisi yang mengayomi masyarakat,
saya polisi yang minta uang dari rakyat. Padahal mereka mungkin lebih susah
hidupnya dari saya.”
Saya sudah 5 kali berlari mengelilingi pelataran hotel,
untuk membuang jauh rasa bersalah itu. Penuh peluh, saya menelpon ibu saya di
Makassar. “Bu, tolong kumpulkan motor, mobil dan beberapa perhiasan.
Tolong semua dijual dan nanti uangnya untuk disumbangkan ke rumah yatim,”
kata saya yang disambut dengan berondongan pertanyaan dari ibu. “Sudah bu,
nanti saya jelaskan..jual semua ya besok.”
Saya harus
menjadi Ulva yang baru, polisi yang jujur, polisi yang benar-benar mengayomi
masyarakat. Kalau ada yang harus berubah, itu adalah diri saya sendiri
Saya,
polisi wanita berpangkat …….. yang bertugas di Polsek Panakkukang,
Makassar. Saya diperintahkan untuk mengikuti pelatihan “Saya, Perempuan
Anti Korupsi” di Sorong, Papua Barat. Awalnya, saya merasa ini akan
menjadi pelatihan yang biasa saja. Hari pertama, saya mulai berkenalan dengan
peserta yang lain, dari berbagai latar belakang. Ada guru, aktivis LSM, pegawai
negeri, dosen dan wartawan. Hari kedua, pemberian materi tentang apa itu
korupsi dan apakah kita selama ini hanya menjadi korban atau sekaligus pelaku
korupsi.
Materi itu begitu membuat saya terpojok. Bayangkan saja, beberapa
hal yang masuk dalam kategori korupsi sudah pernah saya lakukan! Saya menerima
“amplop” dari masyarakat yang mendapat pelayanan dari unit kerja
saya. Tidak saja menerima, tapi saya berbagi uang haram itu dengan kolega saya
yang lain.
“Polisi
macam apa saya ini?” saya bertanya pada diri saya sendiri. Bayangan
almarhum ayah saya berkelebat, “Ulva, kalau memang mau jadi polisi,
jadilah polisi yang baik, yang benar-benar membela masyarakat.”
Ingatan saya kembali ke beberapa waktu silam, saat saya ngotot ingin menjadi
polisi sementara ayah saya melarang. Ayah waktu itu beralasan, polisi itu
banyak sekali peluangnya untuk korupsi.
Semua
kenangan akan ayah saya, perjalanan karir saya sebagai polisi dan bagaimana
anak saya menjalani kehidupannya sekarang, terus berputar di kepala saya.
“Saya harus menjadi Ulva yang baru, polisi yang jujur, polisi yang
benar-benar mengayomi masyarakat. Kalau ada yang harus berubah, itu adalah diri
saya sendiri,” begitu kesimpulan saya malam itu. Malam itu, saya mengambil
air wudhu dan merasa sholat yang saya lakukan adalah sholat terkhusyu untuk
memohon ampun atas dosa-dosa saya.
Kembali
ke Makassar, yang saya lakukan adalah memastikan uang hasil penjualan
barang-barang sudah disumbangkan ke rumah Yatim Piatu dan kemudian menghadap
atasan saya saat itu, Wahyudi Rahman. Saya menceritakan kembali apa yang saya
dapat dari pelatihan tiga hari itu dan saya mohon izin kepada atasan saya untuk
berbagi mengenai ilmu baru ini kepada teman-teman di Polsek Panakkukang. Saya
ajak teman-teman saya main games yang memang dibagikan kepada peserta ToT.
Kemudian meja
layanan kami buat tanpa laci. Ini memperkuat ide bahwa kami tidak lagi dibayar
untuk memberi layanan pada masyarakat.
Beragam
reaksi muncul, tetapi secara umum saya mengamati mereka senang dengan cara
bermain ini. Mereka yang sebelumnya tidak mengetahui bahwa memberikan bingkisan
kepada guru di sekolah adalah bibit perilaku koruptif, sekarang mulai paham dan
mencari cara agar tidak melakukannya lagi. Saya mengajak polwan lain di kantor
saya untuk mulai berubah, awalnya dengan memasang brosur-brosur dan logo SPAK
di meja kerja kami.
Rupanya
ini menarik masyarakat yang datang ke kantor kami. “Semua layanan GRATIS
dan tidak dipungut biaya” tulisan itu kini terpampang di Polsek
Panakkukang. Dukungan atasan dan rekan-rekan saya memperkuat keinginan untuk
menjadikan kantor kami sebagai pelopor polisi Sombere (Polisi ramah, dalam
bahasa Makassar).
Kemudian
muncul ide untuk merombak ruang layanan masyarakat menjadi transparan. Kami
mulai dengan desain ruangan yang menjadi satu dan tanpa sekat. Kemudian meja
layanan kami buat tanpa laci. Ini memperkuat ide bahwa kami tidak lagi dibayar
untuk memberi layanan pada masyarakat. Meja berlaci dulu diasosiasikan dengan
tempat menyimpan uang pungutan liar. Tak cukup dengan itu, diwaktu tertentu
seperti selesai apel, kami bermain dengan games SPAK dan mengenalkan kepada
teman yang lain.
Saya ingin
anak saya kelak menikmati Indonesia yang benar-benar bebas dari korupsi.
Saya
sendiri bertekad, karena saya sekarang sudah menjadi agen SPAK dan sudah
mengetahui tentang korupsi dan bahanyanya, saya akan menjadi orang yang jujur
dan profesional menjalankan tugas saya. Saya ingin anak saya kelak menikmati
Indonesia yang benar-benar bebas dari korupsi.
Tentu
ini bukan tanpa tantangan, saya pernah dicap sok suci, merasa sudah kaya dan
tidak perlu uang lagi sehingga tidak mau menerima pungli. Tetapi sekali lagi,
karena saya sudah berniat untuk berubah, semua saya hadapi dengan tenang. Saya
tau rejeki paling banyak diberikan Allah SWT, saya berubah juga karena
jalanNya. Kalau tidak, tentu saya tidak dibukakan mata saat ini, disaat
institusi polisi juga tengah berbenah untuk memantapkan profesionalitas seluruh
anggotanya.